Guru adalah elemen penting dalam pembelajaran di kelas maupun diluar kelas. Selain karena mempunyainkesempatan berinteraksi secara langsung dengan siswa, guru juga harus mempunyai kemampuan yang komprehensif dalam membangun karakter anak didiknya. Tidak heran jika seorang guru secara normatif harus memiliki empat kompetensi dasar; pedagogis, kepribadian, sosial dan profesional.
Empat kompetensi itu akan menunjang seorang guru mampu berinteraksi baik dengan peserta didiknya. Zakiyah Drajat (1982) menegasakan, kepribadian guru adalah penentu apakah dia menjadi pendidik atau pembina yang baik bagi masa depan anak didiknya atau sebaliknya. Hampir semua pakar (ahli) pendidikan menempatkan posisi guru sebagai instrumen terpenting dalam keberhasilan proses pembelajaran.
Dalam Undang-Undan Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, seorang guru diharuskan mempunyai empat kompetensi; pedagogis, kepribadian, sosial dan profesional. Dalam konteks guru Muhammadiyah empat syarat kompetensi barangkali bisa dimiliki oleh sebagian besar guru.
Tetapi yang paling sulit adalah kemampuan penerapan kompetensi tersebut yang diimbangi dengan nilai-nilai dan prinsip Muhammadiyah yang memiliki ciri khast tersendiri dalam menerapkan kurikulum, artinya di Lembaga pendidikan Muhammadiyah memadukan kurikulum Pendidikan Nasional, Departemen Agama, dan Kurikulum Mejelis Pendidikan dasar dan Menengah yang lebih populer dikenal istilah Ke-Islamanan, Ke-Muhammadiyahan dan Bahasa Arab (ISMUBA).
Bagi guru Muhammadiyah, empat kompetensi itu bisa bisa diterjemahkan dengan nilai-nilai ideologis dan kepribadian Muhammadiyah secara inheren.
Pertama - Kompetensi pedagogis bisa diartikan seorang guru Muhammadiyah harus mempunyai kemampuan dalam menguasai materi pembelajaran dengan tetap memperhatikan tingkat perkembangan psikologis anak didik. Kompetensi ini akan mempermudah guru mengarahkan pengembangan kognitif anak didik sesuai dengan mata pelajaran yang di ampu, serta kemampuan kognitiif tentang nilai, prinsip, dan prinsip Muhammadiyah.
Kedua - Kompetensi kepribadian bagi guru Muhammadiyah bisa diterjemahkan seorang guru harus mempunyai moral dan akhlaq yang mulia dalam kehidupan sehari. Selain itu, harus menjadi teladan di lingkungan lembaga pendidikan Muhammadiyah dan masyarakat sekitarnya. Kompetensi ini juga harus diimbangi dengan prinsip-prinsip hidup Islam yang menjadi tuntutan warga persyarikatan.
Artinya, jangan ada seorang guru Muhammadiyah dalam melaksanakan perintah agama menyimpang dari prinsip-prinsip yang sesuai dengan al-Qur’an dan as-Sunnah. Sebab seorang pendidik tidak hanya membangun kepribadian secara individual, tetapi juga berkawajiban membentuk karakter anak didiknya. Bagaimana mungkin seorang guru Muhammadiyah bisa menanamkan nilai-nilai kepribadian Muhammadiyah jika dirinya sendiri tidak mempunyai kepribadian Muhammadiyah?
Ketiga - Kompetensi sosial guru Muhammadiyah bisa ditafsirkan seorang guru adalah bagian yang tidak terpisahakan dengan warga masyarakat. Maka, seyogyanya guru Muhammadiyah itu mampu bersosialisasi dan berinteraksi dalam kehidupan masyarakat. Yang tidak kalah penting adalah Guru Muhammadiyah harus selalu aktif dan motor penggerak dalam berbagai aktifitas Muhammadiyah sebagai implementasi dakwah amar ma’ruf nahi munkar.
Keempat - Kompetensi profesional bagi guru Muhammadiyah berarti bahwa guru harus menguasai bidang studi yang di ampunya, menguasai kurikulum Ismuba, memahami menejemen berbasis sekolah (MBS), serta dasar pemahaman keilmuan lain terkait dengan kompetensi profesionalnya. Jika guru tidak mempunyai kemampuan pemahaman kurikulum secara integral, maka akan menjadi bias dan tidak bermakna dalam proses pembelajaran.
Keempat kompetensi dasar guru Muhammadiyah itu mutlak harus dimiliki, yang kemudian dikembangkan dengan nilai Ke-Muhammadiyah-an yang tercermin dalm kehidupan sehari-hari. Baik dalam kapasitasnya sebagai guru maupun bagian dari wrga masyarakat. Inilah yang menurut penulis, menjadi pembeda utama antara guru Muhammadiyah dengan guru diluar Muhammadiyah.
Kompetensi dasar guru Muhammadiyah itu tampakknya harus segera disosialisakan kepada semua guru di berbagai tingkatan. Sebab, sekarang mulai banyak Pimpinan Persyarikatan maupun warga Muhammadiyah yang ‘mempertanyakan’ loyalitas daan pengabdian guru-guru Muhammadiyah. Pertanyaan ini muncul karena ada asumsi sebagian masyarakat yang menyatakan banyak orang mencari nafkah di Muhammadiyah, tetapi tidak berjuang untuk Muhammadiyah.
Pertanyaannya adalah, apakah kita termasuk guru yang tidak bermanfaat untuk Muhammadiyah? Atau sebaliknya, Muhammadiyah justru bermanfaat bagi kita tanpa ada timbal balik? Wallahu a’lam bi al-Shawab.
Tulisan ini pernah di muat majalah MATAN edisi 39 bulan Oktober 2009
Post a Comment