Better Generation dan Makna Hijrah

Ilustrasi
Indonesia terus menerus terkoyak keterpurukan multidemensional. Trust (kepercayaan) publik mulai luntur mendera anak negeri, yang terus menerus menyaksikan akrobatik penguasa negeri yang selalu bermanuver dan sama sekali tidak menunjukkan simpatisme masyarakat. Eskalasi politik terus menempati rating tertinggi menghiasai media masa maupun media elektronik, yang berarti bahwa pejabat publik terus menjadikan opini media masa sebagai sarana untuk menembak bidikan rivalnya untuk mencari simpatik dari publik. Padahal, esensi dari apa yang mereka lakukan publik sudah muak, bosan, dengan life servisnya ketika awal-awal mereka mengucapkan janji, karena sesungguhnya masyarakat tidak butuh, masyarakat butuh kesejahteraan, perekonomian membaik, pendidikan bisa terjangkau oleh masayarakat miskin, pelayanan kesehatan murah dan mudah.

Kita harus mengakui dan tidak memungkiri faktualisasi data, bahwa Indonesia merupakan negara yang masih tercatat sebagai negara terkorup di dunia. Penyelesaian kasus-kasus korupusi, kolusi dan nepotisme belum sesuai harapan rakyat. Pembentukan lembaga anti korupsi seperti KPK, bukan semakin berkurang tapi sungguh mengerikan justru eskalasi korupsi makin merajalela mengoyak negeri ini. Di samping itu juga, KPK belum bisa menjawab keinginan dan harapan masyarakat Indonesia, sampai hari hingga memasuki jilid ke 3 kinerja KPK belum maksimal dan belum menunjukkan tajinya sebagai lembaga superbody. Pemberlakuan Otonomi Daerah sebagaimana diamanatkan dalam UU N0. 32 tahun 2004 juga belum berjalan sebagaimana yang diharapkan, bahkan tertatih-tatih. Bahkan Otonomi Daerah yang bisa menjawab persoalan-persoalan daerah, sekarang ini diasumsikan sebagai peluang emas untuk mengeruk kekayaan, artinya otonomi tidak ubahnya mengusung korupsi dari pusat ke daerah.

Keinginan publik tentang penegakan hukum tanpa tebang pilih menjadi tontonan dan ironis, padahal penegakan hukum di Indonesia sekarang merupakan conditio sine qua non (syarat wajib) yang harus dilakukan, menjadi barang langka. Tidak banyak pembuktian yang konkrit yang ditunjukkan dari kinerja pemerintah dalam menegakkan supremasi hukum, termasuk juga penuntasan masalah-masalah korupsi besar. Bahkan, justru publik digiring dalam ranah yang penuh kecurigaan, prasangka, dan fitnah. Sehingga, dalam setiap keputusan hukum pada akhirnya muncul dua pandangan dan asumsi jika hukum telah disubordinasi oleh kepentingan-kepentingan politik. Substansinya, publik mengharapkan hukuman yang setimpal kepada koruptor kakap. Ini memang yang menjadi konsekwensi logis, jika memang negeri ini ingin terbebas dari cengkeraman ketidakpastian, utamanya penegakan hukum, yang pada esensinya tidak tebang pilih dan berlaku untuk semua.

Semua realitas itu menjadi sebuah pekerjaan yang sangat berat bagi semua komponen bangsa, utamanya generasi muda yang akan memegang tongkat estapat kepemimpinan di masa mendatang, harus menjadi pelopor perubahan dan tampil di garda terdepan untuk memperbaiki kondisi bangsa yang terpuruk ini. Dan momentum kedatangan tahun baru hijriah tahun 1433 H ini menjadi penting untuk melakukan instropeksi terhadap carut marutnya negeri yang kita cintai ini. Hijrah berarti keluar dan menguatkan hati, pikiran dan amal perbuatan dari segala permasalahan yang dihadapinya, dengan mendayagunakan segala potensi yang dimiliki. Dalam konteks bangsa Indonesia saat ini, semestinya semua elemen bangsa menguatkan keyakinan akan sebuah perubahan. Karena perubahan merupakan sebuah pilihan mutlak yang mesti dilakukan, dan generasi muda harus menjadi pelopor pada barisan terdepan.

Sejarah telah membuktikan, bahwa perubahan yang terjadi di negeri ini sejak belum merdeka sampai merdeka dipelopori oleh generasi muda. Kita juga tidak menafikan peralihan orde lama ke orde baru terus kemudian disusul ke orde reformasi merupakan sumbangsih pemikiran dari generasi muda untuk memperbaiki bangsa ini. Kita harus memberikan apresiasi terhadap gerakan anak-anak muda yang melakukan kreasi, inovasi, dan berusaha tidak menggantungkan hidup pada kekuasaan, mereka ini menjadi sebuah harapan lahirnya better generation, yang tidak ingin hidup dalam romantisme masa lalu yang perih dan mengenaskan, masa lalu yang diselimuti kabut tebal, yang pada akhirnya membayangi masa depan. Better generation, selalu mempertahankan jati dirinya dengan nilai-nilai kebenaran sebagai parameter perjuangannya, mereka juga berani melakukan tindakan yang tidak populis. Di saat banyak orang berlomba merebut kekuasaan, better generation berkompetisi membuka lapangan kerja baru, bergumul dengan gagasan besar, yang akhirnya melahirkan karya-karya fenomenal, membangun cakar bisnis, dan well informed terhadap denyut kemajuan zaman, demi sumbangsih terhadap bangsa dan negaranya.
 

Nilai Kejujuran Dalam Pendidikan

Ilustrasi Kejujuran
Pakar pendidikan H.G. Wells, dalam bukunya The Catastrope of Education, (2005). mengatakan "rusaknya moral dan tumpulnya  etika sosial masyarakat tidak dapat tidak karena semakin suburnya praktek anomali di sekolah, sebagai salah satu sebab kemungkinan".   Tesis  H.G. Wells didorong oleh makin pudarnya etika sosial di masyarakat, makin melembaganya praktek kekerasan dalam dunia pendidikan. H.G. Wells, menuduh sebagai biangkeroknya adalah lembaga pendidikan sekolah. Menurutnya lembaga pendidikan sekolah  tidak membawa manfaat terhadap perbaikan moral dan etika sosial siswa yang seharusnya  lembaga pendidikan sekolah sebagai lembaga persemaian nilai-nilai kebaikan dan menolak segala bentuk anomali.
Kalau saja tuduhan H.G. Wells itu benar, maka kita tidak perlu sakit hati atau mengatakan sia-sialah guru-guru kita mengajarkan anak-anak kita di sekolah, karena toh pada akhirnya pendidikan menghasilkan manusia bermentalitas tidak jujur.

Senada dengan Wells,  Prof. Kurt Singer, dalam Sindhunata (2001) membeberkan panjang lebar gejala anomali pada pendidikan kita. Menurut Singer sekolah bukan lagi tempat yang nyaman bagi anak-anak. Sistem pendidikan sekolah mau tak mau menjadikan guru  sebagai agen yang mengawasi, menindas dan merendahkan martabat para siswa. Sekolah menjadi lingkungan penuh sensor yang mematikan bakat dan gairah anak untuk belajar. Pekerjaan dan kewajiban sekolah  menjadi diktator yang memusnahkan kemampuan anak untuk belajar menjadi dirinya. Sekolah/kampus bukan lagi tempat untuk belajar melainkan tempat untuk mengadili dan merasa diadili. Kurt Singer menyebut pendidikan sekolah kita yang mengakibatkan kegelisahan dan ketakutan itu, sebagai  Schwarzer Paedagogic (pedagogi hitam),  (Sindhunata, 2001).

Yang semestinya sekolah adalah tempat dimana anak-anak menemukan kejujuran, kesederhanaan dan sikap egaliter. Di sana anak-anak belajar tentang kejujuran, belajar tentang etika dan moral, belajar menjadi dirinya, belajar saling mengasihi, belajar saling membagi. Di sana anak-anak memperoleh perlindungan dari penipuan, kebohongan, kedustaan, di sana mereka belajar tentang demokrasi, kejujuran, kebebasan berbependapat, cinta kasih. Pokoknya sekolah adalah tempat  memanusiakan manusia yang berkarakter mulia dan berbudi luhur.

Kritikan ini sebenaranya bukan hal baru. Para pengkritik pendidikan melihat proses pendidikan tidak ubahnya sebagai penjara sosial. Dimana proses yang terjadi di kelas adalah pemasungan kreativitas anak didik dan karenanya pendidikan tidak pernah melahirkan manusia yang kritis dan cerdas.

Apa yang telah dikemukan di atas  sebenarnya sebagai dampak dari sistem dan model pendidikan  lebih bersifat kodian atau belum tuntas, artinya masih kurang memberi perhatian kepada pengembangan individualitas yang jujur dan kerja keras. Hampir seluruh kegiatan di sekolah belum banyak usaha nyata untuk menumbuhkan  minat siswa untuk cinta kepada kerja dan kerja keras, cinta kepada kejujuran, cinta kesederhanaan. Mentalitas jalan pintas menjadi sebuah pilihan, rupanya sejalan dengan budaya bangsa kita.

Di kalangan siswa budaya ini cukup tumbuh subur, seperti budaya nyontek, budaya plagiat. Oleh karena itu sekolah  hendaknya melakukan reorientasi pendidikan menuju kepada pengembangan individualitas dan menempatkan niliai humanitas pada spektrum yang paling utama.

2. Peranan Pendidikan Dalam Masyarakat

Sebagian besar masyarakat modern memandang lembaga-lembaga pendidikan sebagai peranan kunci dalam mencapai tujuan sosial. Pemerintah bersama orang tua telah menyediakan anggaran pendidikan yang diperlukan secara besar-besaran untuk kemajuan sosial dan pembangunan bangsa, untuk mempertahankan nilai-nilai tradisional yang berupa nilai-nilai luhur yang harus dilestarikan seperti nilai kesederhanaan, kejujuran dan kewajiban untuk mematuhi norma-norma yang berlaku, jiwa semangat berkorban, berpartisipasi dalam kegiatan sosial, rela berbagai dan sebagainya. Pendek kata pendidikan dapat diharapkan untuk mengembangkan wawasan anak terhadap nilai,  sosial dan budaya secara tepat dan benar, sehingga membawa kemajuan pada individu masyarakat dan negara untuk mencapai tujuan pembangunan nasional.

Berbicara tentang fungsi dan peranan pendidikan dalam masyarakat ada bermacam-macam pendapat, di bawah ini disajikan tiga pendapat tentang fungsi pendidikan dalam masyarakat.
Wuradji (1988) menyatakan bahwa pendidikan sebagai lembaga konservatif mempunyai fungsi-fungsi sebagai berikut: (1) fungsi sosialisasi, (2) fungsi kontrol sosial, (3) fungsi pelestarian budaya Masyarakat, (4) fungsi latihan dan pengembangan tenaga kerja, (5) fungsi seleksi dan alokasi, (6) fungsi pendidikan dan perubahan sosial, (7)  fungsi reproduksi budaya, (8)  fungsi difusi kultural, (9) fungsi peningkatan sosial, dan (10) fungsi modifikasi sosial.

Jeane H. Ballantine (1983) menyatakan bahwa fungsi pendidikan dalam masyarakat itu sebagai berikut: (1) fungsi sosialisasi, (2) fungsi seleksi, latihan dan alokasi, (3) fungsi inovasi dan perubahan sosial, (4) fungsi pengembangan pribadi dan sosial.
Meta Spencer dan Aleks Inkeles (1982) menyatakan bahwa fungsi pendidikan dalam masyarakat itu sebagai berikut: (1) memindahkan nilai-nilai budaya, (2) nilai-nilai pengajaran, (3) peningkatan mobilitas sosial, (4) fungsi stratifikasi, (5) latihan jabatan, (6) mengembangkan dan memantapkan hubungan hubungan sosial (7) membentuk semangat kebangsaan, (8) pengasuh bayi.
Dari tiga pendapat tersebut di atas, tidak ada perbedaan tetapi saling melengkapi antara pendapat yang satu dengan pendapat yang lain.

1) Fungsi Sosialisasi.
Di dalam masyarakat pra industri, generasi baru belajar mengikuti pola perilaku generasi sebelumnya tidak melalui lembaga-lembaga sekolah seperti sekarang ini. Pada masyarakat pra industri tersebut anak belajar dengan jalan mengikuti atau melibatkan diri dalam aktivitas orang-orang yang telah lebih dewasa. Anak-anak mengamati apa yang mereka lakukan, kemudian menirunya dan anak-anak belajar dengan berbuat atau melakukan sesuatu sebagaimana dilakukan oleh orang-orang yang telah dewasa. Untuk keperluan tersebut anak-anak belajar bahasa atau simbol-simbol yang berlaku pada generasi tua, menyesuaikan diri dengan nilai-nilai yang berlaku, mengikuti pandangannya dan memperoleh keterampilan-keterampilan tertentu yang semuanya diperoleh lewat budaya masyarakatnya. Di dalam situasi seperti itu semua orang dewasa adalah guru, tempat di mana anak-anak meniru, mengikuti dan berbuat seperti apa yang dilakukan oleh orang-orang yang lebih dewasa. Mulai dari permulaan, anak-anak telah dibiasakan berbuat sebagaimana dilakukan oleh generasi yang lebih tua. Hal itu merupakan bagian dari perjuangan hidupnya. Segala sesuatu yang dipelajari adalah berguna dan berefek langsung bagi kehidupannya sehari-hari. Hal ini semua bisa terjadi oleh karena budaya yang berlaku di dalam masyarakat, di mana anak menjadi anggotanya, adalah bersifat stabil, tidak berubah dan waktu ke waktu, dan statis.

Dengan semakin majunya masyarakat, pola budaya menjadi lebih kompleks dan memiliki diferensiasi antara kelompok masyarakat yang satu dengan yang lain, antara yang dianut oleh individu yang satu dengan individu yang lain. Dengan perkataan lain masyarakat tersebut telah mengalami perubahan-perubahan sosial. Ketentuan-ketentuan untuk berubah ini, mengakibatkan terjadinya setiap transmisi budaya dan satu generasi ke generasi berikutnya selalu menjumpai permasalahan-permasalahan. Di dalam suatu masyarakat sekolah telah melembaga demikian kuat, maka sekolah menjadi sangat diperlukan bagi upaya menciptakan/melahirkan nilai-nilai budaya baru (cultural reproduction).

Dengan berdasarkan pada proses reproduksi budaya tersebut, upaya mendidik anak-anak untuk mencintai dan menghormati tatanan lembaga sosial dan tradisi yang sudah mapan adalah menjadi tugas dari sekolah. Termasuk di dalam lembaga-lembaga sosial tersebut diantaranya adalah keluarga, lembaga keagamaan, lembaga pemerintahan dan lembaga-lembaga ekonomi. Di dalam permulaan masa-masa pendidikannya, merupakan masa yang sangat penting bagi pembentukan dan pengembangan pengadopsian nilai-nilai ini. Masa-rnasa pembentukan dan pembangunan upaya pengadopsian ini dilakukan sebelum anak-anak mampu memiliki kemampuan kritik dan evaluasi secara rasional.

Sekolah sebagai lembaga yang berfungsi untuk mempertahankan dan mengembangkan tatanan-tatanan sosial serta kontrol sosial mempergunakan program-program asimilasi dan nilai-nilai subgrup beraneka ragam, ke dalam nilai-nilai yang dominan yang memiliki dan menjadi pola anutan bagi sebagiai masyarakat.

2) Fungsi pelestarian budaya masyarakat.
Sekolah  juga harus melestanikan nilai-nilai budaya yang masih layak dipertahankan seperti bahasa daerah, kesenian daerah, budi pekerti dan suatu upaya mendayagunakan sumber daya lokal bagi kepentingan sekolah dan sebagainya.

Fungsi sekolah berkaitan dengan konservasi nilai-nilai budaya daerah ini ada dua fungsi sekolah yaitu pertama sekolah digunakan sebagai salah satu lembaga masyarakat untuk mempertahankan nilai-nilai tradisional masyarakat dari suatu masyarakat pada suatu daerah tertentu, digunakan untuk mempertahankan nilai-nilai budaya   dan kedua sekolah mempunyai tugas untuk mempertahankan nilai-nilai budaya bangsa dengan mempersatukan nilai-nilai yang ada yang beragam demi kepentingan nasional.

3) Fungsi pendidikan dan perubahan sosial.
Pendidikan mempunyai fungsi untuk mengadakan perubahan sosial mempunyai fungsi (1) melakukan reproduksi budaya, (2) difusi budaya, (3) mengembangkan analisis kultural terhadap kelembagaan-kelembagaan tradisional, (4) melakukan perubahan-perubahan atau modifikasi tingkat ekonomi sosial tradisional, dan (5) melakukan perubahan-perubahan yang lebih mendasar terhadap institusi-institusi tradisional yang telah ketinggalan.

Sekolah berfungsi sebagai reproduksi budaya menempatkan sekolah sebagai pusat penelitian dan pengembangan. Fungsi semacam ini merupakan fungsi pada perguruan tinggi. Pada sekolah-sekolah yang lebih rendah, fungsi ini tidak setinggi pada tingkat pendidikan tinggi.

Pada masa-masa proses industrialisasi dan modernisasi pendidikan telah mengajarkan nilai-nilai serta kebiasaan-kebiasaan baru, seperti orientasi ekonomi, orientasi kemandirian, mekanisme kompetisi sehat, sikap kerja keras, kesadaran akan kehidupan keluarga kecil, di mana nilai-nilai tersebut semuanya sangat diperlukan bagi pembangunan ekonomi sosial suatu bangsa. Usaha-usaha sekolah untuk mengajarkan sistem nilai dan perspektif ilmiah dan rasional sebagai lawan dan nilai-nilai dan pandangan hidup lama, pasrah dan menyerah pada nasib, ketiadaan keberanian menanggung resiko, semua itu telah diajarkan oleh sekolah sekolah sejak proses modernisasi dari perubahan sosial Dengan menggunakan cara-cara berpikir ilmiah, cara-cara analisis dan pertimbangan-pertimbangan rasional serta kemampuan evaluasi yang kritis orang akan cenderung berpikir objektif dan lebih berhasil dalam menguasai alam sekitarnya.

Lembaga-lembaga pendidikan disamping berfungsi sebagai penghasil nilai-nilai budaya baru juga   berfungsi sebagai difusi budaya (cultural diffission). Kebijaksanaan-kebijaksanaan sosial yang kemudian diambil tentu berdasarkan pada hasil budaya dan difusi budaya. Sekolah-sekolah tersebut bukan hanya menyebarkan penemuan-penemuan dan informasi-informasi baru tetapi juga menanamkan sikap-sikap, nilai-nilai dan pandangan hidup baru yang semuanya itu dapat memberikan kemudahan-kemudahan serta memberikan dorongan bagi terjadinya perubahan sosial yang berkelanjutan.

Fungsi pendidikan dalam perubahan sosial dalam rangka meningkatkan kemampuan analisis kritis berperan untuk menanamkan keyakinan-keyakinan dan nilai-nilai baru tentang cara berpikir manusia. Pendidikan dalam era abad modern telah berhasil menciptakan generasi baru dengan daya kreasi dan kemampuan berpikir kritis, sikap tidak mudah menyerah pada situasi yang ada dan diganti dengan sikap yang tanggap terhadap perubahan. Cara-cara berpikir dan sikap-sikap tersebut akan melepaskan diri dari ketergantungan dan kebiasaan berlindung pada orang lain, terutama pada mereka yang berkuasa. Pendidikan ini terutama diarahkan untuk memperoleh kemerdekaan politik, sosial dan ekonomi, seperti yang dianjurkan oleh Paulo Friere. Dalam banyak negara terutama negara-negara yang sudah maju, pendidikan orang dewasa telah dikembangkan sedemikian rupa sehingga masalah kemampuan kritis ini telah berlangsung dengan sangat intensif. Pendidikan semacam itu telah berhasil membuka mata masyarakat terutama di daerah pedesaan dalam penerapan teknologi maju dan penyebaran penemuan baru lainnya.

Pengaruh dan upaya pengembangan berpikir kritis dapat memberikan modifikasi (perubahan) hierarki sosial ekonomi. Oleh karena itu pengembangan berpikir kritis bukan saja efektif dalam pengembangan pnibadi seperti sikap berpikir kritis, juga berpengaruh terhadap penghargaan masyarakat akan nilai-nilai manusiawi, perjuangan ke arah persamaan hak-hak baik politik, sosial maupun ekonomi. Bila dalam masyarakat tradisional lembaga-lembaga ekonomi dan sosial didominasi oleh kaum bangsawan dan golongan elite yang berkuasa, maka dengan semakin pesatnya proses modernisasi tatanan-tatanan sosial ekonomi dan politik tersebut diatur dengan pertimbangan dan penalaran-penalaran yang rasional. Oleh karena itu timbullah lembaga-lembaga ekonomi, sosial dan politik yang berasaskan keadilan, pemerataan dan persamaan. Adanya strata sosial dapat terjadi sepanjang diperoleh melalui cara-cara objektif dan keterbukaan, misalnya dalam bentuk mobilitas vertikal yang kompetitif.

4) Fungsi Sekolah dalam Masyarakat
 Sekolah bukan satu-satunya lembaga yang menyelenggarakan pendidikan tetapi masih ada lembaga-lembaga lain yang juga menyelenggarakan pendidikan. Sekolah sebagai penyelenggara pendidikan antara lain berfungsi sebagai partner masyarakat. Sekolah sebagai partner masyarakat akan dipengaruhi oleh corak pengalaman seseorang di dalam lingkungan masyarakat. Pengalarnan pada berbagai kelompok masyarakat, jenis bacaan, tontonan serta aktivitas-aktivitas lainnya dalam masyarakat dapat mempengaruhi fungsi pendidikan yang dimainkan oleh sekolah. Sekolah juga berkepentingan terhadap perubahan lingkungan seseorang di dalam masyarakat. Perubahan lingkungan itu antara lain dapat dilakukan melalui fungsi layanan bimbingan, penyediaan forum komunikasi antara sekolah dengan lembaga sosial lain dalam masyarakat. Sebaliknya partisipasi sadar seseorang untuk selalu belajar dari lingkungan masyarakat, sedikit banyak juga dipengaruhi oleh tugas-tugas belajar serta pengarahan belajar yang dilaksanakan di sekolah.

Fungsi sekolah sebagai partner masyarakat akan dipengaruhi pula oleh sedikit banyaknya serta fungsional tidaknya pendayagunaan sumber-sumber belajar di masyarakat. Kekayaan sumber belajar dalam masyarakat seperti adanya lembaga gereja, masjid, perpustakaan, museum, surat kabar, majalah dan sebagainya dapat digunakan oleh sekolah dalam menunaikan fungsi pendidikan.

Sebagai produser kebutuhan pendidikan masyarakat sekolah dan masyarakat memiliki ikatan hubungan rasional di antara keduanya. Pertama, adanya kesesuaian antara fungsi pendidikan yang dimainkan oleh sekolah dengan apa yang dibutuhkan masyarakat. Kedua, ketepatan sasaran atau target pendidikan yang ditangani oleh lembaga persekolahan akan ditentukan pula o!eh kejelasan perumusan kontrak antara sekolah selaku pelayan dengan masyarakat selaku pemesan Ketiga, keberhasilan penunaian fungsi sekolah sebagai layanan pesanan masyarakat sebagian akan dipengaruhi oleh ikatan objektif di antara keduanya.
Ikatan objektif ini dapat berupa perhatian, penghargaan dan tunjangan tertentu seperti dana, fasilitas dan jaminan objektif lainnya yang memberikan makna penting eksistensi dan produk sekolahan.

3. Disorientasi Pendidikan
Pendidikan kita telah lama mengalami disorientasi, dan lebih mengedepankan  pemenuhan keinginan politik ketimbang proses pencerdasan insan manusia. Aktivitas pendidikan hanya berkutat pada persoalan klasik yang memusatkan aspek rasional manusia. Transfer ilmu pengetahuan rasional ini begitu ditekankan dalam pendidikan sehingga dimensi lain pendidikan seperti aspek psikis, spiritual, aspek kejujuran, aspek kesederhanaan, aspek sosial dilupakan. Akibatnya pendidikan kita menjadi berat sebelah, yang pada gilirannya melahirkan manusia-manusia yang tinggi kadar intelektualnya namun tanpa emosi dan jiwa social yang haus akan nilai-nilai human. Itulah konsep pendidikan yang salah selama beberapa tahun kita alami, yang pada akhirnya  pendidikan itu  tidak akan bermanfaat, karena proses yang berjalan adalah pragmatisme nilai. Simpton pendidikan ini nampak pula dalam proses pendidikan yang secara singkat dapat dikatakan bahwa pendidikan kita hanya mendidik manusia untuk "tahu banyak hal dan pandai mengetrapkan sejumlah keterampilan teknis" ( Henderyk Beribe, 1984).

Ideologi pertumbuhan membuat manusia bukan lagi sebagai subyek human yang otonom melainkan budak yang tertindas karena keseimbangan psikologis tergoncang ketika norma-norma etos sosial,  keadilan sosial, kemanusiaan manusia, solidaritas sosial,  "dijungkirbalikan". Maka tidak  mengherankan kalau rasa keadilan sosial, solidaritas sosial pada anak didik kita  meluntur habis, karena etika sosial diganti dengan etika materialisme yang menjadi tolok ukur dari kriterium nilai.

Manusia tidak lagi menjadi makhluk sosial (societas dialogis) yang hidup bersama orang lain melainkan mahluk tunggal yang hidup sendiri dalam penjara-penjara kebudayaan yang diciptakannya sendiri, yang hanya bisa bertahan karena pupuk materialisme sebagai konsekwensi dari ideologi pertumbuhan tanpa batas.

Materialisme lebih jauh memaksa manusia untuk memandang  dirinya sebagai "dewa dan Allah". Begitu sekularisme dan ateisme praktis muncul sebagai agama baru tanpa promulgasi resmi, (Hendryk Beribe, 1984). Materialisme semestinya dimengerti dalam konteks sosial budaya masyarakat yang berada pada tahap transisi, perubahan, perkembangan yang terus melaju untuk mendapatkan identitas sosial dan personalnya.

Bahwa saintisme, pendewasan teknologi sebagai nilai mutlak, materialisme merajalela, kemerosotan mental dan moral, ketidakadilan sosial yang meluas, kekerasan merajalela, yang sering terjadi di sekolah, menjadi pilihan dan merasuk serta membantin pada sebagian masyarakat sekolah, tidak dapat tidak karena proses pendidikan yang keliru sebagai salah satu sebab kemungkinan.

Walau demikian, sisi positifnya tetap ada, yakni lembaga pendidikan merupakan lembaga social yang paling arkais manakala masyarakat begitu dinamis dan rentan terhadap perubahan, fungsi pendidikan tetap sebagai  "watchdog" terhadap perubahan yang keliru. Sebab dengan memperoleh pendidikan yang secukupnya masyarakat kita akan tetap beradab dan menjadi merdeka pikiran dan batinnya.

Menurut JB. Mangunwijaya (1992), lembaga pendidikan merupakan institusi sosial yang sangat menentukan kemajuan dan peradaban bangsa. Sulit dibayangkan, bangsa primitif, menjadi beradab dan bisa bersaing dengan bangsa lain jika tidak tanpa melalui pendidikan yang bermutu. Oleh karena itu pengelolaan pendidikan ke depan adalah perlunya reorientasi pendidikan, yakni menempatkan peserta didik menjadi subyek dari agen perubahan untuk membebaskan dirinya dari isolasi peradaban dan intelektual. Jangkauan  jangka panjang yang kita harapkan adalah dari penyadaran menjadi pembebasan, dan dari pembebasan menuju humanisasi, baik personal maupun social., sehingga ia bisa melihat teman atau orang lain sebagai bagian dari ciptaan tuhan, bukan dianggap sebagai makhluk kafir.

Menurut Dorothy Blaug (2002),  begitu banyak informasi akan menimbun manusia sehingga manusia harus dapat memilih dan memanfaatkan untuk pengembangan pribadinya. Untuk itu konsep pendidikan menurut Blaug adalah kemudahan untuk memperoleh informasi tentang hidup dan kehidupan. Kemajuan teknologi akan sangat membantu, meski kita tidak dapat mengatakan bahwa komputerisasi akan  memecahkan seluruh problem pendidikan. Belajar dengan bantuan komputer akan membuka horizon yang sangat luas bukan saja dalam proses belajar, juga tentang konsep sekolah. Sekolah masa depan akan berubah sehingga akan lebih berupa " personalized learning center". Komputer akan banyak mengambil alih proses belajar hal-hal yang wajib, tugas sekolah atau guru akan beralih kepada memperkenalkan dan membangkitkan persepsi mengenai nilai-nilai.

4. Praktek pendidikan Kita saat ini
Bangsa Indonesia telah mengalami berbagai bentuk praktek pendidikan: praktek pendidikan Hindu, pendidikan Budhis, pendidikan Islam, pendidikan zaman VOC, pendidikan kolonial Belanda, pendidikan zaman pendudukan Jepang, dan pendidikan zaman setelah kemerdekaan (Somarsono, 1985). Berbagai praktek pendidikan memiliki dasar filosofis dan tujuan yang berbeda-beda. Beberapa praktek pendidikan yang relevan dengan pembahasan ini adalah praktek-praktek pendidikan modern zaman kolonial Belanda, praktek pendidikan zaman kemerdekaan sampai pada tahun 1965, dan praktek pendidikan dalam masa pembangunan sampai sekarang ini.

Praktek pendidikan zaman kolonial Belanda ditujukan untuk mengembangkan kemampuan penduduk pribumi secepat-cepatnya melalui pendidikan Barat. Diharapkan praktek pendidikan Barat ini akan bisa mempersiapkan kaum pribumi menjadi kelas menengah baru yang mampu menjabat sebagai "pangreh praja". Praktek pendidikan kolonial ini tetap menunjukkan diskriminasi antara anak pejabat dan anak kebanyakan. Kesempatan luas tetap saja diperoleh anak-anak dari lapisan atas. Dengan demikian, sesungguhnya tujuan pendidikan adalah demi kepentingan penjajah untuk dapat melangsungkan penjajahannya. Yakni, menciptakan tenaga kerja yang bisa menjalankan tugas-tugas penjajah dalam mengeksploitasi sumber dan kekayaan alam Indonesia. Di samping itu, dengan pendidikan model Barat akan diharapkan muncul kaum bumi putera yang berbudaya barat, sehingga tersisih dari kehidupan masyarakat kebanyakan. Pendidikan zaman Belanda membedakan antara pendidikan untuk orang pribumi. Demikian pula bahasa yang digunakan berbeda. Namun perlu dicatat, betapapun juga pendidikan Barat (Belanda) memiliki peran yang penting dalam melahirkan pejuang-pejuang yang akhirnya berhasil melahirkan kemerdekaan Indonesia.

Pada zaman Jepang meski hanya dalam tempo yang singkat, tetapi bagi dunia pendidikan Indonesia memiliki arti yang amat signifikan. Sebab, lewat pendidikan Jepang-lah sistem pendidikan disatukan. Tidak ada lagi pendidikan bagi orang asing degan pengantar bahasa Belanda.
Satu sistem pendidikan nasional tersebut diteruskan setelah bangsa Indonesia berhasil merebut kemerdekaan dari penjajah Belanda. Pemerintah Indonesia berupaya melaksanakan pendidikan nasional yang berlandaskan pada budaya bangsa sendiri. Tujuan pendidikan nasional adalah untuk menciptakan warga negara yang sosial, demokratis, cakap dan bertanggung jawab dan siap sedia menyumbangkan tenaga dan pikiran untuk negara. Praktek pendidikan selepas penjajahan menekankan pengembangan jiwa patriotisme. Dari pendekatan "Macrocosmics", bisa dianalisis bahwa praktek pendidikan tidak bisa dilepaskan dari lingkungan, baik lingkungan sosial, politik, ekonomi maupun lingkungan lainnya. Pada masa ini, lingkungan politik terasa mendominir praktek pendidikan. Upaya membangkitkan patriotisme dan nasionalisme terasa berlebihan, sehingga menurunkan kualitas pendidikan itu sendiri.  Hal ini sangat terasa terutama pada periode Orde Lama (tahun 1959-1965).

Praktek pendidikan zaman Indonesia merdeka sampai tahun 1965 bisa dikatakan banyak dipengaruhi oleh sistem pendidikan Belanda. Sebaliknya, pendidikan setelah tahun 1966 sampai saat ini  pengaruh sistem pendidikan Amerika semakin lama terasa semakin menonjol. Sistem pendidikan Amerika menekankan bahwa praktek pendidikan merupakan instrumen dalam proses pembangunan. Oleh karenanya, tidak rnengherankan kalau seiring dengan semangat dan pelaksanaan pembangunan yang dititik-beratkan pada pembangunan ekonomi, praktek pendidikan dijadikan alat  untuk dapat mendukung pembangunan ekonomi dengan mempersiapkan tenaga kerja yang diperlukan dalam pembangunan. Dengan kata lain praktek pendidikan yang bersumber pada kebijaksanaan pendidikan banyak ditentukan guna kepentingan pembangunan ekonomi.
Perkembangan pendidikan nasional yang berkiblat pada pendidikan Amerika berkembang pesat dan menunjukkan hasil yang luar biasa. Namun perlu dicatat bahwa kecepatan perkembangan pendidikan nasional ini cenderung mendorong pendidikan ke arah sistem pendidikan yang bersifat sentralistis.

Di samping mempertanyakan kualitas output pendidikan yang berkiblat ke Arnerika ini, mulai dirasakan bahwa praktek pendidikan cenderung mendorong munculnya generasi terdidik yang bersifat materialistik, individualistik dan konsumtif. Hal ini sesungguhnya merupakan konsekuensi logis dari pengetrapan praktek pendidikan Amerika. Apalagi, pusat-pusat pendidikan yang lain, misalnya media komunikasi massa mendukung proses "Amerikanisasi" ini.

Adapula satu bentuk produk proses pendidikan yang sesungguhnya menyimpang dari apa yang terjadi di Barat yakni munculnya mentalitas "jalan pintas", dengan semangat dan kemauan untuk bisa mendapatkan hasil secepat mungkin, baik di kalangan generasi muda maupun generasi tuanya. Mereka cenderung tidak menghiraukan bahwa segala sesuatu harus melewati proses yang memerlukan waktu. Bahkan tidak jarang waktu yang diperlukan melewati rentang waktu kehidupannya, tetapi demi masa depan generasi yang akan datang generasi sekarang harus merelakannya. Sebagai contoh, di Barat tidak jarang pembuatan "minuman anggur", agar memiliki rasa luar biasa memerlukan waktu puluhan bahkan ratusan tahun. Tidak jarang pada label sebotol anggur dituliskan: "dibuka 100 atau 200 tahun lagi". Mentalitas "jalan pintas" merupakan hasil negatif dari penekanan yang berlebihan pendidikan sebagai instrumen pembangunan ekonomi. Aspek negatif lain yang erat kaitannya dengan mentalitas jalan pintas adalah dominannya nilai ekstrik (Extrinsic Value) di kalangan masyarakat kita, khususnya generasi muda.

Tekanan kemiskinan menimbulkan obsesi bahwa kekayaan merupakan obat yang harus segera diperoleh dengan segala cara dan dengan biaya apapun juga. Oleh karena tujuan segala kegiatan adalah "kekayaan", dan yang lainnya merupakan instrumental variabel untuk mencapai kekayaan tersebut. Oleh karena itu pendidikan, politik bahkan agama dijadikan sarana dan alat untuk mendapatkan kekayaan. Pendidikan, secara khusus, akan diberlakukan sebagai lembaga yang mencetak "tenaga kerja", bukan lembaga yang menghasilkan "manusia yang utuh" (the whole person). Konsep tersebut akan menimbulkan tekanan yang berlebihan pada hasil tanpa menikmati prosesnya. Sekolah dijalani oleh seseorang agar mendapatkan ijazah untuk bekerja. Proses sekolahnya sendiri tidak pernah dinikmati, karena tidak penting.

5. Nilai Kejujuran, komunikasi dan kesederhanaan (honesty, comunication, and simplicity)
Membaca  model pendidikan karakter yang pernah dikembangkan di Kolese Gonzaga (1007-2008) dan baik untuk kita terapkan di sekolah yaitu Kejujuran, Komunikasi, dan Kesederhanaan. dan ijinkan saya untuk mengutipnya kembali pada bagian berikut ini.

1. Kejujuran (honesty)
Kejujuran merupakan kualitas manusiawi melalui mana manusia mengomunikasikan diri dan bertindak secara benar (truthfully). Karena itu, kejujuran sesungguhnya berkaitan erat dengan nilai kebenaran, termasuk di dalamnya kemampuan mendengarkan, sebagaimana kemampuan berbicara, serta setiap perilaku yang bisa muncul dari tindakan manusia. Secara sederhana, kejujuran bisa diartikan sebagai sebuah kemampuan untuk mengekpresikan fakta-fakta dan keyakinan pribadi sebaik mungkin sebagaimana adanya. Sikap ini terwujud dalam perilaku, baik jujur terhadap orang lain maupun terhadap diri sendiri (tidak menipu diri), serta sikap jujur terhadap motivasi pribadi maupun kenyataan batin dalam diri seorang individu.
 Kualitas kejujuran seseorang meliputi seluruh perilakunya, yaitu, perilaku yang termanifestasi keluar, maupun sikap batin yang ada di dalam. Keaslian kepribadian seseorang bisa dilihat dari kualitas kejujurannya.
 Konsep tentang kejujuran bisa membingungkan dan mudah dimanipulasi karena sifatnya yang lebih interior. Perilaku jujur mengukur kualitas moral seseorang di mana segala pola perilaku dan motivasi tergantung pada pengaturan diri (self-regulation) seorang individu.
 Meskipun tergantung pada proses penentuan diri, kita tidak bisa mengklaim bahwa pendapat diri kita sematalah yang benar. Seandainya toh kita telah meyakini bahwa pendapat kita merupakan pendapat yang menurut kita paling baik, perlulah tetap mendengarkan pendapat orang lain. Setiap keyakinan pribadi menyisakan bias subjektivitas yang bisa saja mengaburkan diri kita dalam memahami realitas sebagaimana adanya. Sikap jujur dengan demikian bisa dikatakan sebagai sebuah usaha untuk senantiasa bersikap selaras dengan nilai-nilai kebenaran (to be thrutful), sebuah usaha hidup secara bermoral dalam kebersamaan dengan orang lain. 

Kualitas keterbukaan kita terhadap yang lain akan menentukan kadar kejujuran atau ketidakjujuran kita. Namun seringkali keterbukaan ini tergantung pada pemahaman diri kita terhadap realitas, termasuk pemahaman nilai-nilai moral yang kita yakini. Keyakinan moral seseorang bisa saja keliru. Namun persepsi diri kita tentang nilai-nilai moral tidaklah statis. Ia dinamis seiring dengan banyaknya informasi dan pengetahuan yang kita terima. Ketika kita menolak menerima adanya perspektif atau sudut pandang lain yang berbeda dengan diri kita, biasanya ini merupakan pertanda bahwa kita kurang memiliki interest terhadap kebenaran. Sikap demikian ini bisa dikatakan sebagai sikap abai terhadap nilai kejujuran (dishonest).
Mengupayakan nilai kejujuran tidak sama dengan memperjuangkan ideologi yang sifatnya lentur dan bisa berubah setiap saat. Inilah mengapa, meskipun kita tahu bahwa kejujuran itu sangat penting bagi kehidupan, nilai kejujuran sulit (untuk mengatakan tidak dapat) menjadi norma sebuah kultur masyarakat. Ideologi senantiasa mencari pendukung yang memperkuat gagasannya dan mendukung sudut pandangnya sendiri sementara menolak dan mengabaikan pandangan orang lain. Pendekatan ideologis menganggap bahwa cara-cara mereka merupakan satu-satunya cara yang benar. Pendekatan demikian mengikis praksis perilaku jujur dan meningkatkan konflik bagi setiap relasi antar manusia.
 Kejujuran memiliki kaitan yang erat dengan kebenaran dan moralitas. Bersikap jujur merupakan salah satu tanda kualitas moral seseorang. Dengan menjadi seorang pribadi yang berkualitas, kita mampu membangun sebuah masyarakat ideal yang lebih otentik dan khas manusiawi.Sokrates, misalnya, mengatakan, jika seseorang sungguh-sungguh mengerti bahwa perilaku mereka itu keliru, mereka tidak akan memilihnya. Seseorang itu akan semakin jauh dari kebenaran dan karena itu dishonest jika ia tidak menyadari bahwa perilakunya itu sesungguhnya keliru. Kesadaran diri bahwa setiap manusia bisa salah dan mengakuinya merupakan langkah awal bertumbuhnya nilai kejujuran dalam diri seseorang.

Dalam sudut pandang Kristiani, norma moral dasar yang bisa ditarik dari kutipan Injil adalah sabda Yesus sendiri, "Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri." (Matius 22:39). Dari ayat ini kita bisa memahami bahwa, 1) perilaku individu akan menentukan kualitas komunitas/masyarakat di mana ia hidup, 2) Individu tidak sekedar melakukan apa yang benar dan baik, melainkan perilaku benar dan baik ini bisa diuji secara timbal balik melalui keberadaan orang lain. Secara sederhana perilaku jujur merupakan sebuah tindakan untuk menghindari kebohongan, mencuri, dan menipu melalui cara apapun.

Kejujuran sejati, bukan sekedar kesediaan kita menerima diri dan orang lain sebagaimana adanya demi kelangsungan hidup bersama. Kejujuran sejati juga mengandaikan bahwa kita jujur tentang kemungkinan dan potensi yang kita miliki sebagai individu. Inilah dimensi kreatif dari makna kejujuran. Kita tidak sekedar menerima diri ktia apa adanya. Menerima diri apa adanya adala awal dari kejujuran. Namun ini belum cukup. Yang kita perlukan adalah pengembangan segala potensi dan kemungkinan yang kita miliki. Inilah yang senantiasa menjadi penjaga bagi kita dalam menghadapi setiap tantangan kedepan.
Untuk memahami lebih praktis perilaku kejujuran, seringkali akan lebih mudah bagi kita menunjukkan macam tindakan-tindakan ketidakjujuran dalam kerangka pendidikan. Perilaku tidak jujur dalam konteks pendidikan antara lain:

Plagiarisme (plagiarism). Sebuah tindakan mengadopsi atau mereproduksi ide, atau kata-kata, dan pernyataan orang lain tanpa menyebutkan nara sumbernya.

Plagiarisme karya sendiri (self plagiarism). Menyerahkan/mengumpulkan tugas yang sama lebih dari satu kali untuk mata pelajaran yang berbeda tanpa ijin atau tanpa memberitahu guru yang bersangkutan.

Manipulasi (fabrication). Pemalsuan data, informasi atau kutipan-kutipan dalam tugas-tugas akademis apapun.

Pengelabuan (deceiving). Memberikan informasi yang keliru, menipu terhadap guru berkaitan dengan tugas-tugas akademis, misalnya, memberikan alasan palsu tentang mengapa ia tidak menyerahkan tugas tepat pada waktunya, atau mengaku telah menyerahkan tugas padahal sama sekali belum menyerahkannya.

Menyontek (cheating). Berbagai macam cara untuk memperoleh atau menerima bantuan dalam latihan akademis tanpa sepengetahuan guru.

Sabotase (sabotage). Tindakan untuk mencegah dan menghalang-halangi orang lain sehingga mereka tidak dapat menyelesaikan tugas akademis yang mesti mereka kerjakan. Tindakan ini termasuk di dalamnya, menyobek/menggunting lembaran halaman dalam buku-buku di perpustakaan, ensiklopedi,dll, atau secara sengaja merusak hasil karya orang lain.

Perilaku ketidakjujuran akademis ini telah banyak terjadi di dalam lingkup pendidikan, mulai dari lingkup sekolah dasar sampai perguruan tinggi, dengan kadar pelanggaran yang berbeda. Pada masa kini, dalam lingkup akademik, perilaku ketidakjujuran akademis seperti ini dipandang sebagai perilaku negatif yang tidak terpuji.  "Honesty means there are no contradictions or discrepancies in thoughts, words, or actions. To be honest to ones real self and to the purpose of a task earns trust and inspires faith in others. Honesty is never to misuse that which is given in trust."

2. Komunikasi
 Setiap proses pendidikan tidak dapat menghindari diri dari kenyataan bahwa pendidikan tak lain adalah proses komunikasi. Tidak akan ada pendidikan tanpa komunikasi, sebab pendidikan merupakan intervensi sosial bagi pembentukan generasi muda agar mereka bertumbuh secara maksimal menjadi pribadi yang mandiri, dewasa dan bertanggungjawab.
 Komunikasi senantiasa berkaitan dengan pembentukan komunitas, yaitu, sebuah keadaan hidup bersama yang saling membantu dan menumbuhkan setiap individu yang terlibat di dalamnya. Lembaga pendidikan sebagai sebuah lembaga formasi merupakan komunitas par excellence. Karena itu, komunikasi menjadi cara bertindak paling dasariah bagi setiap insan yang terlibat dalam dunia pendidikan. Tanpanya, lembaga pendidikan kehilangan alasan keberadaannya (raison d etre).
Sebagaimana nilai kejujuran, komunikasi mengandaikan adanya sikap terbuka terhadap yang lain (baik terhadap individu maupun lingkungan). Keterbukaan dalam komunikasi membuat setiap individu yang terlibat dalam pendidikan mengetahui visi dan misi bersama yang akan diraih oleh sebuah lembaga pendidikan. Dengan demikian mereka mampu mengarahkan diri, pemikiran, tenaga dan perilakunya pada visi dan misi yang menjadi panduan bertindak sebuah lembaga pendidikan.

Komunikasi dalam pendidikan meliputi, komunikasi antar lembaga dengan individu (misalnya, antara yayasan dengan pihak pengurus sekolah), dan antar individu dalam sekolah (komunikasi antara guru-siswa, guru-guru, guru-karyawan, siswa-siswa, siswa-karyawan, karyawan-karyawan). Komunikasi dalam pendidikan juga termasuk di dalamnya komunikasi antara pihak sekolah dengan masyarakat sebagai pemangku kepentingan, dalam hal ini, mereka diwakili oleh orang tua.
Komunikasi dalam lingkup akademis secara khusus tampil dalam kesediaan dialog dalam kerangka pengembangan kemampuan akademis siswa, yaitu, dialog antar guru dan siswa, pendampingan wali kelas terhadap siswa di kelas perwaliannya, komunikasi walikelas dengan orang tua. Semua jenis komunikasi ini diarahkan demi membantu siswa mencapai pengembangan kemampuan akademis dan kepribadian yang dipersyaratkan sesuai oleh pendidikan.

Ketiadaan komunikasi dapat dilihat dari gejala seperti ini, ketidakpuasan terhadap kebijakan sekolah, keluhan dari para siswa terhadap pendekatan pembelajaran tertentu yang dilakukan oleh guru, suasana tidak nyaman dalam bekerja karena masing-masing pihak mengutamakan ide dan gagasannnya.
 Singkatnya, pengembangan kemampuan komunikasi dalam lingkup sekolah mengandaikan adanya keterbukaan, pemahaman bersama akan visi dan misi, kesediaan untuk berdialog dan mencari jalan pemecahan terbaik jika terjadi konflik. Dalam segala hal, pribadi tersebut akan  mengutamakan kepentingan umum mengatasi kepentingan pribadinya.

3. Kesederhanaan (simplicity)
Menanamkan nilai-nilai kesederhanaan menjadi tantangan tersendiri bagi para pendidik di tengah arus masyarakat yang memuja penggelojohan nafsu membeli. Nilai kesederhanaan berkaitan dengan sikap ugahari, yaitu, sebuah perilaku untuk mempergunakan sesuatu apa adanya sesuai kebutuhan, tidak melebihi apa yang seharusnya.

Dalam kerangka pendidikan, sikap sederhana ini bisa diwujudkan dalam penggunaan sarana dan prasarana secara maksimal demi pengembangan diri, semangat bekerja keras dalam belajar dan menempa diri.

Sikap tidak sederhana biasanya tampil dalam, kegiatan yang sifatnya jor-joran, seperti, prom nite di hotel-hotel, pesta-pesta yang tidak berkaitan dan tak ada maknanya bagi proses pendidikan, penggunaan mobil ke sekolah tanpa ijin, pamer barang mewah (mobil, hp,dll), konsumsi berlebihan, membuang-buang waktu demi kesenangan percuma dan sia-sia, dll.

Melalui tiga penekanan khas bagi pembentukan karakter, yaitu, kejujuran, komunikasi dan kesederhanaan, adalah sebagai wujud tanggungjawab seakolah dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan menciptakan sebuah masyarakat yang lebih manusiawi, otentik, peka dan solider pada orang lain. Melaui tiga nilai ini, ingin merealisasikan hakekat pendidikan, yaitu menusia yang memiliki keunggulan, kompetensi, tanggungjawab, sikap terbuka, daya integratif dengan semangat pelayanan dan kepedulian."

6. Catatan Penutup
Menurut Satmoko,dalam Agus Salim (2008) bangsa Indonesia belum pernah merumuskan filsafat pendidikannya sendiri, karena banyak distorsi. Begitu Indonesia merdeka dan bebas dalam berpikir, kita justru belum mampu memanfaatkan kebebasan itu. Kita terbentur pada kebhinekaan. Secara historis, sebelum Belanda datang, sebenarnya Indonesia sudah memiliki "system" pendidikan sendiri, yaitu pada zaman Majapahit, Sriwijaya, dan Mataram yang bersifat feodalistis.

Budaya feodal berwatak materialistis, hedonisme, hegemonisme sehingga menjadi panutan yang kuat. Para pemikir seperti Ronggowarsito yang futuristik sudah meramalkan bahwa zaman yang akan datang bakal terjadi pluralisme yang cenderung tidak beraturan. Nilai-nilai dasar budaya Indonesia yang plural belum sempat menjadi sistem yang dianut oleh semua pihak.

Sampai sekarang belum pernah ada suatu teori pendidikan yang didukung riset. Riset yang ada selalu mengacu Amerika. Di Indonesia, sifat pendidikan direduksi menjadi schooling (sekolah formal) -kesimpulan yang dinilai terlalu tergesa-gesa. Harusnya, secara embrional, pendidikan itu harus dilihat dalam kekuatan keluarga. Bagaimana orang tua dan masyarakat mendidik anak-anaknya (filsafat ing ngarsa asung tuladha).
Guru sekolah itu kedudukannya ada dalam proses persekolahan. Guru adalah fasilitator (ing madya mangun karsa), yang aktif mendorong anak dalam arah yang benar. Tetapi guru yang berkualifikasi tidak sempat mengenal siswanya, karena tanggung jawabnya cukup besar sementara gajinya kecil.

Satmoko dalam Agus Salaim (2008) melihat kejadian sebagai akar fenomenologi yang berkembang di Indonesia. Embrio pemikiran tentang sistem pendidikan nasional berasal dari Ki Hajar Dewantara yang menanamkan nilai dasar budaya Indonesia. Taman Siswa bukan penonjolan budaya Jawa, tetapi perlawanan budaya lokal kepada pemerintah kolonialisme Belanda yang mendapat pembenaran dari berbagai suku lain.
Pada dasarnya mendidik adalah tanggung jawab yang mesti ditangani orang tua dan  guru. Orang tua tak siap untuk mendidik, karena ia melahirkan anak tanpa ilmu pendidikan, tapi secara instinktif. Orientasi filosofi orang tua sederhana saja, yaitu berupaya menanamkan nilai-nilai kemandirian, kesederrhanaan, dan komunikasi, dan sekaligus memberi bekal untuk meneruskan hidupnya.

Kemudian orang tua menyadari bahwa dalam hidup, manusia tidak hanya mengejar kejerahan materi, tapi hendaknya juga menyiapkan diri di masa akhir dunia. Dengan demikian, yang dibekalkan pada anak hanya dua hal yakni akar dan sayap menurut Christoper Gleenson (1997)

Prof Satmoko dalam Agus Salim (2008) menilai pengaruh Amerika besar sekali terhadap sistem pendidikan di Indonesia. Depdiknas hanya mengambil filsafat tut wuri handayani. Para pendidik kita yang belajar di AS tidak mampu membendung masuknya liberalisasi dan individualisasi. Anak, dalam teori behavioralistik, diasumsikan merupakan potensi, naturalistik harus didukung dengan filsafat tut wuri handayani.

Padahal Ki Hajar Dewantara mengajarkan ketiga kesatuan (Tripusat) tak terpisahkan. Karena seorang anak juga butuh diberi contoh (tuladha), sedangkan guru sebagai fasilitator harus mampu memberi arah pendidikan nilai yang jelas. Sehingga guru Indonesia menjadi korban. Di satu pihak belum memiliki filosofi Indonesia, tetapi di tataran praksis mengalirlah praktik pendidikan dengan program pengajaran yang sangat liberal.
Pendekatan kompetensi diterapkan dalam pendidikan dan teknologi, serta disikapi sebagai panglima yang mengarahkan mutu pendidikan. Kita bisa menyaksikan ukuran-ukuran mutu hasil pendidikan yang dikaitkan dengan peningkatan knowledge. Ujian Negara (UN) menjadi patokan, padahal kita tidak menerima anak sebagai unsur teknologi, tetapi sebagai pribadi manusia.

Indonesia sebetulnya memiliki filsafat Pancasila sebagai landasan filosofi pendidikan. Pada masa lalu, Pancasila kehilangan spiritnya karena inkonsistensi sikap dari bangsa kita. Filsafat Pendidikan Pancasila mengajarkan banyak hal, mulai dari unsur religi, demokrasi, human relation, sampai keadilan. Tetapi masuknya liberalisme dan kapitalisme membuat kita menjadi sangat behavioristik. Anak didik dipaksa untuk kreatif, inovasi dan bebas, tetapi guru tidak bertanggung jawab pada pembentukan nilai-nilai anak. Liberalisme dan kapitalisme hanya melahirkan kemampuan memilih peluang, tetapi tidak menghasilkan sikap dan moral.

Menurut Satmoko, hidup merupakan patron. Guru hendaknya memberi tuladha kepada anak didik untuk hidup sederhana dan mengembangkan nilai-nilai hidup normatif berdasarkan ajaran agama. Kondisi ini tidaklah mudah, apalagi pada masa Orde Baru di mana tuntutan kemajuan materi sangat tinggi. Mendidik anak dimulai dari keluarga (millieu), lingkungan kerja. Dan dalam keseharian, guru selalu diupayakan memegang kaidah hidup dadi guru, ora guroni ananging naberi (menjadi guru jangan sekali-kali merasa lebih pinter, tetapi memberi contoh).

Sistem pendidikan harus dikembangkan dengan memberi kepercayaan kepada anak didik sepenuhnya. Untuk itu, guru harus memiliki idealisme dan panggilan hati (beruf) untuk mencintai anak didiknya. Sikap ini tidak dapat diperoleh dari bangku sekolah, tetapi perlu dilatih dalam kehidupan keseharian.

Berbagai penyimpangan yang ada dalam masyarakat, misalnya berkembangnya mentalitas jalan pintas, sikap materialistik dan individualistik, dominannya nilai-nilai ekstrinsik terutama di kalangan generasi muda, dari satu sisi bisa dikaitkan dengan kegagalan praktek pendidikan yang berkiblat ke Amerika. Dengan kata lain, praktek pendidikan yang kita laksanakan tidak atau kurang cocok dengan budaya Indonesia. Untuk itu, perlu dicari sosok bentuk praktek pendidikan yang berwajah Indonesia.

Pendidikan merupakan proses yang berlangsung dalam suatu budaya tertentu. Banyak nilai-nilai budaya dan orientasinya yang bisa menghambat dan bisa mendorong pendidikan. Bahkan banyak pula nilai-nilai budaya yang dapat dimanfaatkan secara sadar dalam proses pendidikan. Sebagai contoh di Jepang "moral Ninomiya Kinjiro" merupakan nilai budaya yang dimanfaatkan praktek pendidikan untuk mengembangkan etos kerja, kejujuran, kesederhanaan. Kinjiro adalah anak desa yang miskin yang belajar dan bekerja keras sehingga bisa menjadi samurai, suatu jabatan yang sangat terhormat. Karena saking miskinnya (sederhananya), orang tuanya tidak mampu membeti alat penerangan. Oleh karena itu dalam belajar ia menggunakan penerangan dari kunang-kunang yang dimasukan dalam botol. Kerja keras diterima bukan sebagai beban, melainkan dinikmati sebagai pengabdian. Selain semangat kerja keras, budaya Jepang juga menekankan rasa keindahan yang tercerminkan pada ketekunan, hemat, jujur dan bersih sebagaimana semangat Kinjiro diwujudkan dalam patung anak yang sedang asyik membaca sambil berjalan dengan menggendong kayu bakar di bahunya. Patung tersebut didirikan di setiap sekolah di Jepang.

Dalam kaitan ini perlu dipertanyakan adakah nilai-nilai dan orientasi budaya kita yang bisa dimanfaatkan dalam praktek pendidikan? Manakah nilai dan orientasi budaya yang perlu dikembangkan dan manakah yang harus ditinggalkan? Itulah yang harus kita kerjakan sekarang ini. Semoga!

DAFTAR PUSTAKA
  1. Banks, J.A. 1985. Teaching strategies for the social studies. New
    York: Longman.
  2. Elias, J. L. 1989. Moral education: secular and religious. Florida:
    Robert E. Krieger Publishing Co., Inc.
  3. Fraenkel, J.R. 1977. How to teach about values: an analytic approach.
    New Jersey: Prentice-Hall, Inc.
  4. Fraenkel, J.R. 1980. Helping students think and value: strategies for
    teaching the social studies. Second Edition. New Jersey:
    Prentice-Hall, Inc.
  5. Hersh, R.H., Miller, J.P. & Fielding, G.D. 1980. Model of moral
    education: an appraisal. New York: Longman, Inc.
  6. Kohlberg, L. 1971. Stages of moral development as a basis of moral
    education. Dlm. Beck, C.M., Crittenden, B.S. & Sullivan, E.V.(pnyt.).
    Moral education: interdisciplinary approaches: 23-92. New York: Newman
    Press.
  7. Kohlberg, L. 1977. The cognitive-developmental approach to moral
    education. Dlm. Rogrs, D. Issues in adolescent psychology: 283-299.
    New Jersey: Printice Hall, Inc.
  8. Lictona, T. 1987. Character development in the family. Dlm. Ryan, K. &
    McLean, G.F. Character development in schools and beyond: 253-273. New York: Praeger.
  9. Liebert, R.M. 1992. Apa yang berkembang dalam perkembangan moral?.
    Dlm. Kurtines, W.M. & Gerwitz, J.L. (pnyt.). Moralitas, perilaku
    moral, dan perkembangan moral:287-313. Terj. Soelaeman, M.I. & Dahlan, M.D. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.
  10. Power, F.C. 1994. Moral development. Dlm. Ramachandran, V.C. (pnyt.).
    Encyclopedia of human behavior: 203-212. San Diego: Academic Press.
  11. Prayitno. 1984. Budi pekerti dan pendidikan. Kertas kerja seminar
    pendidikan budi pekerti, anjuran Pusat Kurikulum dan Sarana
    Pendidikan, Balitbang Dikbud, 2-3 Ogos 1994.
  12. Raths, L.E., Harmin, M. & Simon, S.B. 1978. Values and teaching:
    working with values in the classroom. Second Edition. Columbus:
    Charles E. Merrill Publishing Company.
  13. Rest, J.R. 1992 Komponen-komponen utama moralitas. Dlm. Kurtines, W.M. & Gerwitz, J.L. (pnyt.). Moralitas, perilaku moral, dan perkembangan
    moral:37-60. Terj. Soelaeman, M.I. & Dahlan, M.D. Jakarta: Penerbit
    Universitas Indonesia.
  14. Shaver, J.P. & Strong, W. 1982. Facing value decisions:
    rationale-building for teachers. Second Edition. New York: Teacher
    College, Columbia University.
  15. Superka, D.P. 1973. A typology of valuing theories and values
    education approaches. Doctor of Education Dissertation. University of
    California, Berkeley.
  16. Superka, D.P., Ahrens, C., Hedstrom, J.E., Ford, L.J. & Johnson, P.L.
    1976. Values education sourcebook. Colorado: Social Science Education
    Consortium, Inc.
  17. Windmiller, M. 1976. Moral development. Dlm. Adams. J.F. (pnyt.).
    Understanding adolescence: current developments in adolescent
    psychology: 176-198. Boston: Allyn and Bacon, Inc.
  18. Agustian, G. A. (2001). Emotional Spiritual Quotient. Jakarta: Penerbit ARGA. Bertens.
  19. K. (1993). E t i k a. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.
  20. Cummings, W. K, Gopinathan, S, and Tomoda, Y. (1988). The Revival of Values Education in Asia and the West. Oxford: Pergamon Press.
  21. Goleman, D. (1997). Emotional Intelligence. Terjemahan. Jakarta: Penerbit PT Grarnedia Pustaka Utama.
  22. Kneller, George F. (1972). Introduction to the Philosophy of Education. New York: John Wiley and Sons, Inc.
  23. Metcalf, L. E. (editor) (1971).  Values Education: Rationale, Strategies and Procedures. Washington D.C.: National Council for Social Studies.
  24. Simon, S. B. and Howe, Leland, W., and Kirscenbaum, H. (1972). Values
  25. Clarification. New York: Hart Publishing Company, Inc.
  26. Sudjana, D. (2000). Nisbah Ilmu Pendidikan Terhadap Kerangka Ilmu Pengetahuan. Bandung: FJP-UPI.
  27. Zohar, D. and Marshall, I. (2000). Spiritual Intelligence The Ultimate Intelligence (SO). London: Bloomsbury Publishing Plc.

 
 
Support : Creating Website | KOD Template | FTemplates
Copyright © 2011. Cak Slamet - All Rights Reserved
Modificated by KOD Tutor | Portal Informasi Online
Proudly powered by Blogger